H.M. Abdurrahman, Buruh Pemetik Kelapa yang Naik Haji
Sabtu, 26/12/2009
H.M. Abdurrahman, Buruh Pemetik Kelapa yang Naik Haji
H.M. Abdurrahman, 74, warga Dusun Jalen, Desa Setail, Kecamatan Genteng, Banyuwangi, itu seolah merasa tak percaya bahwa dirinya sudah naik haji. Pekerjaannya sebagai buruh pemetik buah kelapa terbilang pas-pasan. Tetapi berkat ketekunannya menabung, akhirnya dia sukses melaksanakan rukun Islam ke lima.
KAKEK berbaju gamis warna hijau dan bersongkok putih duduk lesehan di ruang tamu berukuran 2,5 meter kali 3,5 meter. Kakek bernama H.M. Abdurrahman itu melayani semua tamu yang datang untuk silaturrahmi.
Bila ada tamu yang menanyakan kesan-kesannya saat melaksanakan haji, dia hanya bisa tertawa lebar. "Saya sering ditinggal oleh rombongan. Anggota rombongan sepertinya juga banyak yang mangkel karena saya beberapa kali hilang," katanya sambil tertawa.
Sosok Abdurrahman memang cukup unik dan misterius. Warga menyebut, hanya dengan pertolongan-Nya, kakek itu bisa berangkat naik haji. Abdurrahman tinggal di rumah yang sangat sederhana berukuran enam meter kali tujuh meter. Untuk masuk ke rumahnya yang berada di belakang pondok pesantren Darun Najah, warga harus melewati jalan-tanah selebar satu meter.
Lantaran rumahnya yang sederhana itu, Abdurrahman yang datang menunaikan haji sekitar pukul 10.00 Kamis lalu (24/12), oleh warga langsung dibawa ke rumah keluarganya yang bernama Nur Halim. Jarak rumah keluarganya itu sekitar satu kilometer dari rumahnya sendiri. "Rumahnya kayak gitu, nggak cukup menerima tamu," ujar Mukhari, seorang keluarga Abdurrahman.
Sambil menundukkan wajahnya, Mbah Durrahman--sapaan akrab Abdurrahman--mulai menceritakan perjalanan hidupnya hingga bisa naik haji. "Saya bisa naik haji setelah menabung kepada Pak Sunar (tetangganya). Lamanya menabung sekitar 20 tahun," sebutnya.
Selama ini, Mbah Durrahman hanya bekerja sebagai buruh pemetik buah kelapa. Meski usianya sudah cukup senja, lelaki tua tersebut masih mampu memanjat belasan pohon kelapa setiap hari. "Sehari biasanya memanjat 15 pohon kelapa," ujarnya.
Biasanya, warga tidak memberinya upah berupa uang. Sebagian besar warga memberinya upah berupa beberapa butir kelapa. Selanjutnya, kelapa pemberian warga itu dijual dan uangnya ditabung. "Uang itu tidak semua ditabung, sebagian saya gunakan untuk makan," jelasnya.
Mbah Durrahman mengaku, dirinya tidak setiap hari bisa menabung. Biasanya dia menabung paling cepat seminggu sekali. Terkadang, dia bisa menabung dua minggu sekali, atau bahkan sebulan sekali. "Setiap kali menabung, kadang Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu. Saya juga pernah menabung Rp 200 ribu. Hasil dari menabung itulah yang saya gunakan untuk biaya naik haji," bebernya.
Mbah Durrahman menabung karena beberapa kali rumahnya dibobol maling. Sebelumnya, upah memanjat pohon kelapa disimpan di rumah. "Malingnya itu seperti tahu tempat saya menyimpan uang," katanya.
Di antara uang yang disimpan di rumah itu, oleh Durrahman juga ada yang dibelikan sepeda pancal. Dasar sial, tiga kali membeli sepeda pancal, tiga kali pula sepedanya dicuri orang. "Saya pernah ke Masjid Jamik Genteng. Saya tinggal sebentar ke WC, uang Rp 500 ribu di celana juga pernah hilang," ujarnya.
Masalah pencurian yang menimpanya itu, berlangsung hingga sepekan sebelum berangkat naik haji. Uang simpanan Rp 800 ribu yang akan digunakan untuk bekal naik haji, ternyata juga dicuri orang. "Setiap uang dicuri orang, saya selalu mengikhlaskan," ujarnya sambil tertawa.
Meski tergolong ekonomi lemah, tapi dorongan keluarga dan teman sangat kuat. Beberapa kerabat dan tetangga banyak yang ikut mengantarnya hingga ke tempat pemberangkatan haji di Kecamatan Genteng. "Saat berangkat haji, saya hanya membawa uang Rp 1,5 juta," ujarnya.
Ketika akan berangkat haji itu, tidak banyak bekal yang dibawa oleh Mbah Durrahman. Tas besar yang diberikan oleh Departemen Agama itu hanya diisi tiga setel baju dan satu sarung. "Saya juga beli sandal baru, tapi sandal itu hilang di Makkah," katanya sambil terkekeh.
Selama melaksanakan ibadah haji, Mbah Durrahman mengaku tidak bisa melakukan sendiri semua rukun dan syarat haji. Lantaran kondisinya sudah udzur, ada beberapa rukun haji yang dilakukan dengan cara membayar. "Meski harus membayar kepada orang, tapi anehnya uang saya yang sedikit itu cukup," jelasnya.
Selama berada di Tanah Suci, kakek yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Parasgempal, Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar, itu memang terbiasa berhemat. Selama berada di Tanah Suci, dia mengaku tidak pernah jajan sama sekali. Bahkan saat akan pulang, dia juga tidak membeli oleh-oleh atau pakaian. "Kenapa membeli, saya banyak diberi," sebutnya.
Mbah Durrahman mengaku tidak mengenal orang yang memberinya. Saat sandalnya hilang, tiba-tiba ada orang yang memberinya sandal bagus. Bahkan, saat jalan-jalan di sekitar Makkah, tiba-tiba ada orang yang datang dan langsung memberi uang. "Ada orang yang memberi jubah, air zamzam, dan lain-lain," paparnya.
Bukan hanya itu pengalaman yang dilakoni Mbah Durrahman saat melaksanakan haji. Ketika pulang dari Surabaya-Banyuwangi, bus yang ditumpangi rombongan haji itu mendadak macet di sekitar Desa Sidomulyo, Kecamatan Mayang, Jember. "Orang lain banyak yang dijemput keluarganya, saya hanya menunggu," katanya.
Sebab, bus tetap tidak bisa jalan, sopir bus itu menaikkan Mbah Durrahman ke mobil penumpang umum (MPU). Dengan naik MPU, kakek ini diantar sampai di depan pondok pesantren Darun Najah, di Dusun Jalen, Desa Setail. "Saat Mbah Durrahman datang, tidak ada warga yang menyambut. Hanya anak-anak yang melihat," terang Mukhari.
Kedatangan Mbah Durrahman yang tidak dinyana itu sempat membuat para tetangga kaget. Di antara warga, ada yang segera mengambil motor dan memboncengnya ke rumah Nur Halim. "Jadi, Mbah Durrahman ini pulang haji dibonceng menggunakan motor," jelas Mukhari. (bay) *Jawa Pos 26122009
0 Response to "H.M. Abdurrahman, Buruh Pemetik Kelapa yang Naik Haji"
Posting Komentar